Pengembangan kurikulum berbasis
kompetensi pada tingkat satuan pendidikan (KTSP) merupakan suatu kegiatan tugas
professional pendidikan, yang bertolak dari perubahan kondisi pembelajaran saat
ini dan merekonstruksi suatu model pembelajaran ke masa yang akan datang.
Berkaitan dengan hal itu perlu dipahami terlebih dahulu apa dan bagaimana model
dalam konteks praktik pembelajaran.
Menurut Mills (1989:4), model
adalah bentuk reprensentasi akurat, sebagai proses aktual yang memungkinkan
seseorang atau sekelompok orang mencoba bertindak berdasarkan model itu. Hal itu merupakan interpretasi atas hasil observasi dan pengukuran yang
diperoleh dari beberapa sistem.
Perumusan model
mempunyai tujuan: (1) memberikan gambaran kerja sistem untuk periode tertentu,
dan di dalamnya secara implisit terdapat seperangkat aturan untuk melaksanakan
perubahan; (2) memberikan gambaran tentang fenomena tertentu menurut
diferensiasi waktu atau memproduksi seperangkat aturan yang bernilai bagi
keteraturan sebuah sistem; (3) memproduk model yang mempresentasikan data dan
format ringkas dengan kompleksitas rendah.
Dengan demikian, suatu model dapat ditinjau dari aspek mana kita memfokuskan suatu pemecahan permasalahannya. Pengertian model pembelajaran dalam konteks ini, merupakan landasan praktik pembelajaran hasil penurunan teori psikologi pendidikan dan teori belajar, yang dirancang berdasarkan proses analisis yang diarahkan pada implementasi KTSP dan implikasinya pada tingkat operasional dalam pembelajaran.
Dengan demikian, suatu model dapat ditinjau dari aspek mana kita memfokuskan suatu pemecahan permasalahannya. Pengertian model pembelajaran dalam konteks ini, merupakan landasan praktik pembelajaran hasil penurunan teori psikologi pendidikan dan teori belajar, yang dirancang berdasarkan proses analisis yang diarahkan pada implementasi KTSP dan implikasinya pada tingkat operasional dalam pembelajaran.
Model Mengajar
Model
mengajar dapat diartikan sebagai suatu rencana atau pola yang digunakan dalam
menyusun kurikulum, mengatur materi pembelajaran, dan memberi petunjuk kepada
pengajar di dalam kelas dalam setting pengajaran. Untuk menetapkan model
mengajar yang tepat, merupakan suatu pekerjaan yang tidak mudah, karena
memerlukan pemahaman yang mendalam mengenai materi yang akan diberikan dan
model mengajar yang dikuasai.
Memilih
suatu model mengajar, harus juga disesuaikan dengan realitas yang ada dan
situasi kelas yang akan dihasilkan dari proses kerjasama yang dilakukan antara
guru dan peserta didik. Meskipun dalam menentukan model mengajar yang cocok itu
tidak mudah, tetapi guru harus memiliki asumsi, bahwa hanya ada model mengajar
yang sesuai dengan model belajar. Apabila guru mengharapkan peserta didiknya
menjadi produktif, maka guru harus membiarkannya dia berkembang sesuai dengan
gayanya masing-masing. Guru hanya berperan sebagai fasilitator dalam proses
belajar peserta didik.
Banyak
model mengajar yang telah dikembangkan oleh para ahli.Pengembangan
model tersebut didasarkan pada konsep teori yang selama ini dikembangkan.
Mengingat banyaknya model mengajar yang telah dikembangkan, Bruce Joyce et.al
(2000) mengelompokkan menjadi empat rumpun yaitu: model pemrosesan informasi (processing
information model), model pribadi (personal model), model interaksi
sosial (social model), dan model perilaku (behavior model).
Model mengajar pemrosesan
informasi terdiri dari model mengajar yang menjelaskan bagaimana cara individu
memberi respon terhadap stimulus yang datang dari lingkungan. Dalam prosesnya
ditempuh langkah-langkah seperti mengorganisasi data, memformulasikan masalah,
membangun konsep dan rencana pemecahan masalah, serta penggunaan simbol verbal
dan non verbal. Banyak model
mengajar yang tergolong pada kelompok model ini, yaitu: Inductive
thinking (classification-oriented), Concept attainment, Scientific inquiry,
Inquiry Tarining.
Model pribadi berorientasi pada perkembangan diri
individu. Pelaksanannya lebih menekankan pada upaya membantu individu
dalam membentuk dan mengorganisasikan realita yang unik serta lebih
memperhatikan kehidupan emosional peserta didik. Upaya pengajaran lebih diarahkan
pada menolong peserta didik untuk dapat mengembangkan kemampuannya dalam
mengembangkan hubungan yang produktif dengan lingkungannya. Yang tergolong pada
kelompok model mengajar ini adalah: Nondirective teaching dan Enhancing
self esteem.
Model Interaksi Sosial mengutamakan pada hubungan
individu dengan masyarakat atau orang lain, dan memusatkan perhatiannya pada
proses dimana realita yang ada dipandang sebagai negosiasi sosial. Prioritas
utama diletakkan pada kecakapan individu dalam berhubungan dengan orang lain.
Yang tergolong pada kelompok model mengajar diantaranya: Partner in
learning, Structured Inquiry, Group Investigation, Role Playing.
Model mengajar perilaku dibangun atas dasar teori yang
umum, yaitu kerangka teori perilaku. Salah satu cirinya adalah kecenderungan
memecahkan tugas belajar kepada sejumlah perilaku yang kecil-kecil dan
berurutan serta dapat terukur. Belajar dipandang sebagai sesuatu yang tidak
menyeluruh, tetapi diuraikan dalam langkah-langkah yang konkrit dan dapat
diamati. Mengajar berarti mengusahakan terjadinya perbuatan dalam perilaku
siswa, dan perubahan tersebut haruslah teramati. Termasuk dalam model perilaku
ini adalah: Mastery learning, Direct Instruction, Simulation, Social
Learning, Programmed Schedule.
Pergeseran Konsep Pembelajaran
Tuntutan terhadap pelayanan pembelajaran yang
ditunjang oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, mendorong
terjadinya pergeseran konsep pembelajaran. Model mengajar bergeser ke arah
model belajar. Asumsi pergeseran tersebut, bertolak dari peserta didik yang
diharapkan dapat meningkatkan upaya dirinya memperkaya pengetahuan, sikap dan
keterampilan. Guru di sekolah bukan lagi satu-satunya sumber pengetahuan, akan
tetapi bagian integral dalam sistem pembelajaran. Berdasarkan teori belajar
yang ada, bermuara pada tiga model utama, yaitu: a) Behaviroisme,
b) Kognitivisme, dan c) Konstruktivisme.
a. Pembelajaran Behavirosime
Good et. al.(1973) menganggap
Behaviorisme atau tingkah laku dapat diperhatikan dan diukur. Prinsip utama
bagi teori ini ialah faktor rangsangan (stimulus), Respon (response) serta
penguatan (reinforcement). Teori ini menganggap faktor lingkungan sebagai
rangsangan dan respon peserta didik terhadap rangsangan itu ialah responsnya.
Pendapat ini sejalan dengan pendapat Thorndike (2001) yang menyatakan bahwa
hubungan di antara stimulus dan respon akan diperkuat apabila responnya positif
diberikan reward yang positif dan tingkah laku nagatif tidak diberi apa-apa
(hukuman).
Sebagai contoh, seseorang peserta
didik diberikan ganjaran positif setelah dia menunjukkan respon positif. Dia
akan mengulangi respon tersebut setiap kali rangsangan yang serupa ditemui. Hal
demikian akan diperoleh dalam pengajaran guru dengan adanya latihan dan
ganjaran terhadap sesuatu latihan. Penguatan (reinforcement) yang
terbina akan memberi rangsangan supaya belajar lebih bersemangat dan
bermotivasi tinggi. Peserta didik yang berprestasi memperoleh pengetahuan yang
mereka inginkan dalam sesuatu sesi pembelajaran, dapat dikatakan mendapat
response positif.
b. Pembelajaran Kognitif
Model kognitif berkembang sebagai
protes terhadap teori perilaku yang berkembang sebelumnya. Model kognitif ini
memiliki perspektif bahwa para peserta didik memproses infromasi dan pelajaran
melalui upayanya mengorganisir, menyimpan, dan kemudian menemukan hubungan
antara pengetahuan yang baru dengan pengetahuan yang telah ada. Model ini
menekankan pada bagaimana informasi diproses. Peneliti yang mengembangkan
kognitif ini adalah Ausubel, Bruner, dan Gagne. Dari ketiga peneliti ini,
masing-masing memiliki penekanan yang berbeda. Ausubel menekankan pada apsek
pengelolaan (organizer) yang memiliki pengaruh utama terhadap belajar.
Menurut Ausubel, konsep tersebut dimaksudkan untuk penyiapan struktur kognitif
peserta didik untuk pengalaman belajar. Bruner bekerja pada pengelompokkan atau
penyediaan bentuk konsep sebagai suatu jawaban atas bagaimana peserta didik
memperoleh informasi dari lingkungan. Bruner mengembangkan teorinya tentang
perkembangan intelektual, meliputi: (1) enactive, dimana
seorang peserta didik belajar tentang dunia melalui tindakannya pada objek;
(2) iconic,dimana belajar terjadi melalui penggunaan model dan
gambar; dan (3) symbolicyang mendeskripsikan kapasitas dalam
berfikir abstrak
Gagne melakukan penelitian pada
belajar mengajar sebagai suatu rangkaian pase, menggunakan step-step kognitif:
pengkodean (cooding), penyimpanan (storing), perolehan kembali (retrieving),
dan pemindahan informasi (transferring information). Menurut Bruner
(1963) perkembangan kognitif seseorang terjadi melalui tiga tahap yang
ditentukan oleh caranya melihat lingkungan, yaitu enactif, iconic, dan
symbolic. Tahap pertama adalah tahap enaktif, dimana siswa melakukan
aktifitas-aktifitasnya dalam usahanya memahami lingkungan. Tahap kedua adalah
tahap ikonik dimana ia melihat dunia melalui gambar-gambar dan visualisasi
verbal.Tahap ketiga adalah tahap simbolik, dimana ia mempunyai gagasan-gagasan
abstrak yang banyak dipengaruhi bahasa dan logika dan komunikasi dilkukan
dengan pertolongan sistem simbol.
Menurut Hartley & Davies (1978),
prinsip-prinsip kognitifisme banyak diterapkan dalam dunia pendidikan khususnya
dalam melaksanakan kegiatan perancangan pembelajaran, yang meliputi: (1)
Peserta didik akan lebih mampu mengingat dan memahami sesuatu apabila pelajaran
tersebut disusun berdasarkan pola dan logika tertentu; (2) Penyusunan materi
pelajaran harus dari yang sederhana ke yang rumit. Untuk dapat melakukan tugas
dengan baik peserta didik harus lebih tahu tugas-tugas yang bersifat lebih
sederhana; (3) Belajar dengan memahami lebih baik dari pada menghapal tanpa
pengertian. Sesuatu yang baru harus sesuai dengan apa yang telah diketahui
siswa sebelumnya. Tugas guru disini adalah menunjukkan hubungan apa yang telah
diketahui sebelumnya; DAN (4) Adanya perbedaan individu pada siswa harus
diperhatikan karena faktor ini sangat mempengaruhi proses belajar siswa. Perbedaan ini
meliputi kemampuan intelektual, kepribadian, kebutuhan akan suskses dan
lain-lain. (dalam Toeti Soekamto 1992:36)
c. Pembelajaran
Konstruktivisme
Konstruktivisime
merupakan proses pembelajaran yang menerangkan bagaimana pengetahuan disusun
dalam diri manusia. Unsur-unsur konstruktivisme telah lama dipraktekkan dalam
proses belajar dan pembelajaran baik di tingkat sekolah dasar, menengah, maupun
universitas, meskipun belum jelas terlihat.
Berdasarkan
faham konstruktivisme, dalam proses belajar mengajar, guru tidak serta merta
memindahkan pengetahuan kepada peserta didik dalam bentuk yang serba
sempurna. Dengan kata lain, pesera didik harus membangun suatu pengetahuan itu
berdasarkan pengalamannya masing-masing. Pembelajaran adalah hasil dari usaha
peserta didik itu sendiri. Pola pembinaan ilmu pengetahuan di sekolah merupakan
suatu skema, yaitu aktivitas mental yang digunakan oleh peserta didik sebagai
bahan mentah bagi proses renungan dan pengabstrakan. Fikiran peserta didik
tidak akan menghadapi kenyataan dalam bentuk yang terasing dalam lingkungan
sekitar. Realita yang diketahui peserta didik adalah realita yang dia bina
sendiri. Peserta didik sebenarnya telah mempunyai satu set idea dan pengalaman
yang membentuk struktur kognitif terhadap lingkungan mereka.Untuk membantu
peserta didik dalam membina konsep atau pengetahuan baru, guru harus
memperkirakan struktur kognitif yang ada pada mereka. Apabila pengetahuan baru
telah disesuaikan dan diserap untuk dijadikan sebagian daripada pegangan kuat
mereka, barulah kerangka baru tentang sesuatu bentuk ilmu pengetahuan dapat
dibina.
John Dewey
menguatkan teori konstruktivisme ini dengan mengatakan bahwa pendidik yang
cakap harus melaksanakan pengajaran dan pembelajaran sebagai proses menyusun
atau membina pengalaman secara berkesinambungan. Beliau juga menekankan
kepentingan keikutsertakan peserta didik di dalam setiap aktivitas pengajaran
dan pembelajaran.
Ditinjau
persepektif epistemologi yang disarankan dalam konstruktivisme, maka fungsi
guru akan berubah. Perubahan akan berlaku dalam teknik pengajaran dan
pembelajaran, penilaian, penelitian dan cara melaksanakan kurikulum. Sebagai
contoh, perspektif ini akan mengubah kaidah pengajaran dan pembelajaran yang
menumpu kepada kemampuan peserta didik mencontoh dengan tepat apa saja yang
disampaikan oleh guru, kepada kaidah pengajaran dan pembelajaran yang menumpu
kepada kemampuan peserta didik dalam membina skema pengkonsepan berdasarkan
pengalaman yang aktif. Ia juga akan mengubah tumpuan penelitian dari pembinaan
model berdasarkan kaca mata guru kepada pembelajaran sesuatu konsep ditinjau
dari kaca mata peserta didik.
Beberapa aliran pembelajaran
konstruktivisme:
§ Piaget
Pembelajaran konstruktivisme
berdasarkan pemahaman Piaget, beranggapan bahwa: 1) gambaran mental seseorang
dihasilkan pada saat berinteraksi dengan lingkungannya, 2) pengetahuan yang
diterima oleh seseorang merupakan proses pembinaan diri dan pemaknaan, bukan
internalisasi makna dari luar.
§ Konstrukstivisme personal
pembelajaran
menurut konstruktivisme personal, memiliki beberapa anggapan (postulat), yaitu:
1) Set mental (idea) yang dimiliki peserta didik mempengaruhi panca indera dan
pada akhirnya akan berpengaruh terhadap proses pembentukan pengetahuan, 2)
Input yang diterima peserta didik tidak memiliki makna yang tetap, 3) peserta
didik menyimpan input yang diterima tersebut ke dalam memorinya, 4) input yang
tersimpan dalam memori tersebut dapat digunakan lagi untuk menguji input lain
yang baru diterima, 5) peserta didik memiliki tanggung jawab terhadap apa yang
menjadi keputusannya.
§ Konstrukstivisme sosial
Konstruktivisme
sosial beranggapan bahwa pengetahuan yang dibentuk oleh peserta didik,
merupakan hasil interaksinya dengan lingkungan sosial disekitarnya. Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa: a) pengetahuan dibina oleh manusia, 2)
pembinaan pengetahuan bersifat sosial dan personal, 3) pembina pengetahuan
personal adalah perantara sosial dan pembina pengetahuan sosial adalah
perantara personal, 4) pembinaan pengetahuan sosial merupakan hasil interaksi
sosial, dan 5) interaksi sosial dengan yang lain adalah sebagian dari personal,
pembinaan sosial, dan pembinaan pengetahuan bawaan.
§ Konstrukstivisme radikal
Konstruktivisme
radikal beranggapan bahwa: 1) kebenaran tidak diketahui secara mutlak, 2)
pengetahuan saintifik hanya dapat diketahui dengan menggunakan instrumen yang
tepat, 3) konsep yang terjadi adalah hasil yang diperoleh individu setelah
melakukan ujicoba untuk menggambarkan pengalaman subjektif, 4) konsep akan
berkembang dalam upaya penggambaran fungsi efektif tentang pengalaman
subjektif.
Implikasi
konstrukstivisme terhadap pembelajaran adalah: (1) Pembelajaran tidak akan
berjalan dengan baik, jika peserta didik tidak diberi kesempatan menyelesaikan
masalah dengan tingkat pengetahuan yang dimilikinya; (2) Pada akhir proses
pembelajaran, peserta didik memiliki tingkat pengetahuan yang berbeda sesuai
dengan kemampuannya; (3) Untuk memutuskan (menilai) keputusannya, peserta didik
harus bekerja sama dengan peserta didik yang lain; (4) Guru harus mengakui
bahwa peserta didik membentuk dan menstruktur pengetahuannya berdasarkan
modalitas belajar yang dimilikinya.
2. Pengembangan Model Pembelajaran
Berpijak
pada tiga teori belajar seperti dijelaskan di atas, maka dalam pengembangan
model pembelajaran harus selaras dengan teori belajar yang dianut. Dengan kata
lain, apabila kita menganut teori behaviorisme, maka model pembelajaran yang
dapat digunakan diantaranya adalah model pembelajaran yang tergolong pada
kelompok perilaku. Untuk penganut teori kognitivisme, model pembelajaran yang
dapat digunakan adalah model pembelajaran yang mengarah pada proses pengolahan
informasi. Adapun untuk yang menganut teori belajar konstruktivisme, maka model
pembelajaran yang dikembangkan adalah model pembelajaran yang bersifat
interaktif dan model pembelajaran yang berpusat pada masalah. Hal ini
didasarkan pada salah satu prinsip yang dianut oleh konstruktivisme, yaitu
bahwa setiap siswa menstruktur pengetahuannya sendiri berdasarkan pengalaman
dan hasil interaksinya dengan lingkungan sekitar. Jadi pengetahuan itu tidak
begitu saja diberikan oleh guru.
a. Pengembangan model pembelajaran
behaviorisme.
Sesuai
dengan pilosofis yang dianut oleh para ahli behavioris tentang belajar, yaitu
perubahan perilaku yang dapat diukur, maka dalam pengembangan model
pembelajaran harus diarahkan pada proses penciptaan perilaku baru yang dapat
diukur. Menurut pilosofis behaviorist, belajar terjadi berdasarkan pola
berfikir deduktif, dan siswa belajar secara individu (individual learning).
Selain itu, dalam proses pemelajarannya lebih terfokus pada guru (teacher
centered). Model pembelajaran yang dapat dikembangkan diantaranya adalah
model pembelajaran mastery, model pembelajaran langsung, model pembelajaran
simulasi, model pembelajaran sosial, dan model pembelajaran berprogram. Setiap model
tersebut dapat dikembangkan dengan berbagai pendekatan dan strategi.
b. Pengembangan
model pembelajaran yang menganut teori kognitivisme.
Menurut pandangan kognitivis, belajar bukan hanya
sekedar perubahan perilaku yang dapat diukur, melainkan bagaimana pengetahuan
tersebut diproses. Dengan kata lain, menurut kognitivis belajar bukan hanya
sekedar keterkaitan antara stimulus dan respons, melainkan apa yang terjadi
didalam fikiran atau mental orang yang belajar. Menurut pandangan kognitivis,
seseorang dikatakan belajar apabila dalam diri individu tersebut terjadi proses
pengolahan informasi dari saat menerima informasi baru, mengolah, menyimpan dan
mengulang kembali. Menurut pandangan ini, belajar akan baik apabila
diseusuaikan dengan tingkat perkembangan siswa. Artinya, mengajarkan topik yang
sama untuk anak dan orang dewasa akan memiliki cara yang berbeda. Dalam proses
berfikirnya, dapat menganut pola fikir deduktif, maupun induktif.
c. Pengembangan model pembelajaran yang menganut teori konstruktivisme.
Berbeda dengan teori sebelumnya, konstruktivisme
berpandangan bahwa pengetahuan diperoleh langsung oleh siswa berdasarkan
pengalaman dan hasil interaksi dengan lingkungan sekitar. Dalam proses
pemelajarannya lebih ditekankan pada model belajar kolaboratif. Dengan kata
lain, siswa belajar dalam kelompok tidak seperti pada pembelajaran
konvensional, bahwa siswa belajar secara individu. Hal ini didasarkan pada
pemikiran bahwa seorang siswa tidak hanya belajar dari dirinya sendiri,
melainkan juga belajar dari yang lain. Dengan demikian, model pembelajaran yang
perlu dikembangkan adalah model pembelajaran yang terpusat pada masalah dan
model belajar kolaboratif.
Trend Pembelajaran
1. Quantum Learning
Keberhasilan proses belajar yang dialami oleh
seseorang, tidak terlepas dari beberapa faktor yang mempengaruhinya, baik yang
berasal dari luar diri individu maupun yang berasal dari dalam diri individu
yang bersangkutan. Faktor yang berasal dari dalam diri individu berupa:
motivasi, partisipasi, konfirmasi, pengulangan, dan aplikasi. Adapun yang berasal
dari luar diri individu dapat berasal dari bahan ajar, pengajar, ataupun
lingkungan tempat dia belajar. Proses belajar yang terjadi pada individu yang
belajar, erat kaitannya dengan struktur otak yang dimilikinya. Berdasarkan
belahannya, otak manusia terdiri dari belahan otak kanan dan belahan otak kiri.
Otak kanan memiliki karakteristik dalam cara berfikir logis, sekuensial,
linier, dan rasional. Adapun otak kiri memiliki karakteristik dalam berfikir
yang acak, tidak teratur, intuitif, dan holistik. Agar dalam proses belajar
terjadi keseimbangan, harus diupayakan kerja otak kanan dan otak kiri seimbang.
Quantum learning menciptakan konsep
motivasi, langkah-langkah menumbuhkan minat, dan belajar aktif. Oleh karena
itu, belajar dalam konsep quantum learningadalah memberdayakan
seluruh potensi yang ada, sehingga proses belajar menjadi suatu yang
menyenangkan bukan sebagai sesuatu yang memberatkan.
Quantum learning mengonsep
tentang "menata pentas: lingkungan belajar yang tepat." Penataan
lingkungan ditujukan kepada upaya membangun dan mempertahankan sikap positif.
Sikap positif merupakan aset penting untuk belajar. Peserta didik quantum dikondisikan
ke dalam lingkungan belajar yang optimal baik secara fisik maupun mental. Target
penataannya ialah menciptakan suasana yang menimbulkan kenyamanan dan rasa
santai.
Lingkungan makro ialah "dunia yang
luas". Peserta didik diminta untuk menciptakan ruang belajar di masyarakat. Mereka
diminta untuk memperluas lingkup pengaruh dan kekuatan pribadi, berinteraksi
sosial ke lingkungan masyarakat yang diminatinya. "Semakin siswa
berinteraksi dengan lingkungan, semakin mahir mengatasi sistuasi-situasi yang
menantang dan semakin mudah Anda mempelajari informasi baru". Setiap siswa
diminta berhubungan secara aktif dan mendapat rangsangan baru dalam lingkungan
masyarakat, agar mereka mendapat pengalaman membangun gudang penyimpanan
pengertahuan pribadi.
Pola yang dikembangkan tersebut, maka dalam setiap
individu diharapkan muncul sikap tanggung jawab terhadap diri, sehingga akan terus
belajar dan berupaya menggali sesuatu yang baru dan menggunakannya. Kemampuan
dalam menyerap informasi selanjutnya dikenal dengan istilah modalitas belajar.
Adapun kemampuan dalam mengatur dan mengolah informasi dikenal dengan istilah
dominasi otak.
DePorter (2002) mengelompokkan modalitas seseorang
menjadi tiga kelompok yaitu visual, auditorial, dan kinestesik. Dalam proses
belajar modalitas tersebut dapat dibantu dengan menggunakan suatu alat yang
dinamakan media, yakni media pembelajaran. Seseorang yang bertanggung jawab
terhadap dirinya, akan benar-benar menyadari terhadap modalitas, khususnya
modalitas belajar yang dimilikinya.
Komponen modalitas secara teoretis mengandung
aspek-aspek seperti yang dikemukakan Gardner (1992) mencakup berbagai cara dilakukan
dalam membelajarkan diri, mencakup: (1) verbal/linguistik, (2)
logical/mathematical, (3) visual/spatial, (4) body/kinesetik, (5)
musical/rhythmic, (6) interpersonal, (7) intrapersonal, dan naturalistik.
2. Quantum Teaching
Mengajar merupakan salah satu tugas seseorang yang
menyandang predikat sebagai pengajar. Ada empat kemampuan yang perlu dimiliki
seorang pengajar yaitu kemampuan dalam mendiagnosis tingkah laku siswa,
melaksanakan proses pembelajaran, menguasai bahan ajar, dan melakukan evaluasi
hasil belajar.
Mengajar pada hakekatnya merujuk pada aktivitas
yang dilakukan oleh pengajar dalam rangka menciptkan proses belajar pada
pembelajar. Dengan demikian, mengajar merupakan upaya guru untuk menciptakan
kondisi-kondisi atau mengatur lingkungan sedemikian rupa, sehingga terjadi
proses interaksi antara peserta didik dengan lingkungan, termasuk dengan guru,
alat pelajaran dan lain sebagainya. Melalui proses interaksi tersebut,
diharapkan pada diri peserta didik terjadi proses yang dikenal dengan nama
proses belajar (Nasution, 1982).
Dalam konsep di atas, tersirat bahwa peran pengajar
adalah pemimpin dan fasilitator belajar. Dengan demikian, mengajar bukan hanya
menyampaikan bahan pelajaran, tetapi suatu proses dalam upaya membelajarkan
peserta pembelajar. Mengingat sasaran utama dalam proses pembelajaran adalah
terjadinya proses belajar, maka komponen-komponen pembelajaran disesuaikan
dengan karakteristik peserta didik, terutama modalitas yang dimilikinya.
Quantum teaching, merupakan
konsep yang dikembangkan tentang mengajar ini didasarkan pada asas utama, yaitu
"bawalah dunia mereka ke dunia kita dan bawalah dunia kita ke dunia
mereka". Selain itu, dikembangkan juga lima prinsip dasar, yaitu segalanya
berbicara, segalanya bertujuan, pengalaman sebelum pemberian nama, akui setiap
usaha, dan jika layak dikerjakan layak juga dihargai (DePorter, 2002). Model
yang dikembangkan terdiri dari dua komponen yaitu konteks yang memiliki empat
aspek (suasana, landasan, lingkungan, dan rancangan) dan isi yang mencakup
presentasi. Kerangka rancangan belajarnya adalah tumbuhkan, alami, namai,
demonstrasikan, ulangi, dan rayakan (TANDUR).
Lawatan Sejarah Sebagai Model Pembelajaran
Lawatan Sejarah adalah suatu
kegiatan perjalanan mengunjungi situs bersejarah (a trip to historical sites).
Jika mencermati uraian di muka, khususnya tentang pengembangan model
pembelajaran berbasis teori belajar yang berkembang, maka Lawatan Sejarah dapat
dikembangkan sebagai model pembelajaran sejarah baik dengan basis teori
behavioristik, koqnitif, maupun konstruktivistik. Tinggal bagaimana guru
dan/atau murid mengemasnya. Tentu saja, kalau kita mengikuti perkembangan baru.
Terutama paradigma baru yang dijadikan rujukan yang mendasari penyelenggaraan
pendidikan di Indonesia, yang dituangkan baik pada UU tentang Sisdiknas maupun
Peraturan Menteri tentang Standar Kompetensi dan Implementasinya, maka sangat
jelaslah bahwa paradigma pembelajaran kontruktivisme menjadi pilihan utamanya.
Mengamati perkembangan
penyelenggaraan pendidikan di Indonesia, gejala diterimanya paradigma
konstruktivisme dan tren pembelajaran quantum sungguh menggembirakan. Hal ini
terbukti dari mulai maraknya kegiatan-kegiatan pendidikan baik formal (sekolah)
maupun non formal (pelatihan, workshop, atau bahkan seminar lokakarya) yang
dikemas dalam bentuk Edutainment.
Kita sudah lama
mengenal istilah learning by doing, maka learning by
experiencing adalah ungkapan yang tepat untuk menggambarkan "Edutainment".
Edutainment yaitu sebuah konsep yang saat ini sedang dikembangkan oleh berbagai
lembaga pendidikan formal (sekolah) maupun non formal (lembaga-lembaga yang
menyelenggarakan pelatihan, workshop, atau seminar). Bahkan dinegara maju,
edutainment telah ditopang oleh teknologi yang maju, sehingga sebutannya
menjadi edutainment and technotainment (Edutechnotainment: pen). Progam ini
diakui telah membuka sumber daya baru, perkakas dan strategi untuk mengangkat
capaian siswa ke tingkat yang lebih tinggi (McKenzie, 2000).
Edutainment adalah akronim dari
"education and entertainment". Dapat diartikan sebagai progam
pendidikan atau pembelajaran yang dikemas dalam konsep hiburan sedemikian rupa,
sehingga tiap-tiap peserta hampir tidak menyadari bahwa mereka sebenarnya
sendang diajak untuk belajar atau untuk memahami nilai-nilai (value), sehingga
kegiatan tersebut memiliki nuansa yang berbeda dibandingkan dengan pembelajaran
biasa.
Edutainment dapat digunakan untuk
mengemas model pembelajaran melalui lawatan sejarah. Aplikasinya
tergantung dari kebutuhan dan impact yang diharapkan oleh peserta. Lawatan
sejarah yang dikemas dalam Edutainment akan menjadi lebih
menarik bagi peserta. Sebenarnya lawatan sejarah ini hanyalah kendaraan saja.
Yang terpenting adalah muatannya, baik itu internal maupun external
issues, misalnya e
Tidak ada komentar:
Posting Komentar