Cirebon : Praying, Eating and Shopping!
tari topeng Cirebon
Terinspirasi oleh film eat, pray and love yang dibintangi oleh peraih piala Oscar 2001 Julia Robert, maka saya akan memulai tulisan perdana ini dengan sedikit bercerita mengenai tempat tinggal saya selama kurang lebih 6 tahun. Cirebon merupakan salah satu kota bagian dari Provinsi Jawa Barat, terletak di perbatasan antara Jawa Barat dan Jawa Tengah, Cirebon diapit oleh beberapa kota disekelilingnya yaitu Kuningan, Majalengka dan Indramayu. Karena Letaknya yang berada di daerah perbatasan ini, menyebabkan Cirebon mengalami akulturasi budaya. Cirebon menjadi tempat pertemuan masyarakat Jawa dan Sunda serta masyarakat pesisir dan gunung, namun Cirebon memiliki bahasa dan dialektika tersendiri yang tidak berbeda dari bahasa Jawa maupun Sunda. Bahasa Cirebon sendiri telah diakui oleh Pemerintah Provinsi Jawa Barat sebagai salah satu bahasa daerah di ranah Jawa Barat. Iklim budaya Cirebon terasa begitu kental karena Cirebon pun memiliki histori yang cukup penting. Cirebon menjadi salah satu pusat perkembangan agama Islam di Indonesia terutama di wilayah Jawa Barat.
Sebagai salah satu penduduk Cirebon yang sedang menimba ilmu di Jakarta, tiga identitas unik yang dapat menggambarkan Cirebon adalah : destinasi wisata religi, sentra Batik dan surga kuliner. Ketiga identitas tersebut menurut saya terasa begitu kuat melekat ketika mendengar kata Cirebon. Mari kita mulai dari penjelasan identitas pertama Cirebon sebagai destinasi wisata religi. Seperti yang sudah saya jelaskan sebelumnya bahwa Cirebon merupakan bagian tak terpisahkan dari sejarah perkembangan penyebaran ajaran agama Islam di pulau Jawa terutama wilayah Jawa Barat. Sunan Gunung Jati merupakan salah satu tokoh dari wali sanga yang menjadikan Cirebon sebagai basis pengembangan agama Islam pada waktu itu. Cirebon sebagai destinasi wisata religi tentu menawarkan berbagai pengalaman wisata. Cirebon sendiri memiliki tiga keraton yang masih kokoh berdiri hingga saat ini yaitu Keraton Kanoman, Keraton Kesepuhan dan Keraton Kacirebonan, ketiga kesultanan ini pecah akibat adanya politik adu domba yang diterapkan oleh koloni Belanda pada waktu itu. Hingga saat ini wisatawan dapat mengunjungi ketiga keraton tersebut untuk berziarah melihat bangunan keraton tempo dulu yang sering digunakan oleh para wali untuk berdiskusi. Seperti halnya keraton di Yogyakarta, Cirebon pun menyimpan tradisi yang selalu menjadi daya tarik setiap tahunnya. Tradisi Muludan (Maulid Nabi) menjadi event pariwisata tahunan yang selalu ditonjolkan oleh pemerintah kota Cirebon. Menyambut datangnya Maulid Nabi, Keraton mulai terlihat sibuk berbenah dalam menyiapkan perayaan tersebut. Jalan-jalan sepi menuju keraton mulai dipenuhi warg,a sekedar ingin menjajakkan barang dagangannya, jadilah kita bisa sekaligus berwisata kuliner sambil pergi berwisata religi. Puncak perayaannya adalah ketika malam Maulid Nabi itu tiba, pihak keraton mulai mengeluarkan seluruh benda pusaka yang selama ini disimpan di dalam keraton, gamelan pun mulai dibunyikan untuk menyambut hari kelahiran nabi sebagai ungkapan kebahagiaan dalam mengenang nabi Muhammad SAW. Media massa kerap memberitakan acara “pajang jimat” ini setiap tahunnya sebagai bagian dari acara seremoni religi yang digelar oleh masyarakat Cirebon.
Keraton Kesepuhan
Tak lengkap rasanya jika saya tidak menceritakan objek wisata spiritual lainnya yaitu makam Sunan Gunung Jati di Cirebon yang setiap hari ramai dikunjungi oleh rombongan pengajian baik dari dalam maupun luar kota Cirebon. Makam Sunan Gunung Jati merupakan tempat peristirahatan terakhir bagi salah satu anggota Wali Sanga ini. Makam sang Sunan hanya boleh dimasuki oleh keluarga keraton saja sebagai keturunannya, masyarakat umum tidak diperbolehkan memasuki makam Sunan. Hal ini dikarenakan begitu banyak barang berharga yang harus dijaga sebagai warisan budaya seperti guci-guci, keramik yang menurut sejarah dibawa oleh istri Sunan Gunung Djati yang berasal dari Cina, yaitu Putri Ong Tien. Terdapat 9 pintu/gapura menuju makam Sunan Gunung Jati, namun pengunjung hanya boleh masuk hingga batas serambi muka pintu pertama saja. Satu hal yang mengesalkan bagi saya pribadi adalah ketika saya berkunjung ke makam Sunan Gunung Jati, maka anda akan diserbu oleh para peminta sumbangan yang jumlanya tidak sedikit. Semakin diberi, maka semakin banyak peminta sumbangan yang akan mengejar kita. Agak mengesalkan juga sih jadinya, hal inilah yang masih menjadi dilema bagi pemerintah Kota Cirebon hingga saat ini untuk menertibkan para peminta sumbangan dengan cara yang sama-sama saling menguntungkan.
Sudut Keraton
Identitas kedua yang tak kalah menariknya adalah ketika kita berkunjung ke kota yang selalu disinari matahari ini, wisatawan dapat berkunjung ke sentra batik Trusmi di daerah Trusmi, Plered Cirebon. Ibu Ani Yudhoyono didampingi Ibu Gubernur Jabar beserta rombongan istri menteri istri para pengusaha pernah mengunjungi sentra batik Trusmi di Cirebon pada tanggal 9 Februari 2010. Harus saya akui memang batik Cirebon memiliki keunikan khas. Motif terkenal “Mega Mendung” menjadi ciri batik Cirebon, motif ini banyak dipengaruhi oleh budaya Cina karena adanya proses akulturasi budaya. Kalau pembaca sering menonton film Korea/China dengan setting kerajaantempo dulu, maka pasti anda akan menjumpai motif “Mega Mendung” sebagai background singgasana raja versi mereka di layar kaca anda :D. Terakhir saya mengunjungi sentra batik Trusmi sekitar bulan Januari 2011 dan kunjungan tersebut semakin meneguhkan pendapat saya bahwa Cirebon menjadi salah satu pemain unggul industri batik di tanah air. Hampir sepanjang jalan Trusmi, anda dapat menjumpai showroom batik yang tak terhitung banyaknya, suasananya persis mirip seperti di Malioboro Yogyakarta. Setiap masuk ke satu showroom batik, maka anda langsung dapat mencium aroma batik yang khas, yang lebih menarik, anda dapat memborong beberapa potong batik dengan harga yang begitu miring. Saya sendiri sendiri berhasil mendapatkan batik dengan motif yang indah hanya dengan merogoh kocek sebesar Rp 35.000 saja! luar biasa rasanya, karena di Jakarta minimal jika ingin mendapatkan batik yang bagus harus menyiapkan budget di atas Rp 50.000. Inilah identitas yang menjadi “meaning” bagi masyarakat Cirebon.
Menginjak pada identitas kuat nomor tiga soal Cirebon versi saya sendiri yaitu Cirebon sebagai surga kuliner dapat dibuktikan dari sajian masakan penggugah selera makan yang menjadi menu andalan khas Cirebon : nasi Jamblang (sega jamblang) dan Empal Gentong . Masih banyak masakan lain yang tentunya dapat dijumpai di Cirebon, tetapi kedua menu tersebut menjadi menu favorit para wisatawan ketika mengunjungi Cirebon. Nasi Jamblang merupakan makanan khas Cirebon, yang membuatnya unik adalah karena nasi Jamblang selalu dibungkus oleh daun jati asli. Hal ini yang membuat nasi jamblang beraroma wangi daun jati, segar rasanya. Daun jati yang membungkus nasi jamblang biasanya diambil dari tengah hutan yang masih jarang terkena polusi kendaraan sehingga lebih segar. Jenis-jenis lauk-nya pun bervariasi seperti sambal goreng, tempe goreng, paru goreng, sate puyuh, telur sambal, cumi tinta, sambal goreng kerang dan berbagai pepes seperti pepes jamur, pepes rajungan, pepes ayam dan ikan asin renyah. Sedangkan empal gentong sendiri merupakan makanan yang mirip dengan gulai (gule) dan dimasak menggunakan kayu bakar di dalam gentong yang terbuat dari periuk tanah liat. Daging yang digunakan adalah usus, babat dan daging sapi, enak pastinya..hmmm. Konon katanya, yang membuat empal gentong ini terasa beda dari gulai lainnya adalah karena proses memasaknya yang menggunakan gentong sebagai media memasak dan kayu bakar sebagai kompornya.
Motif Mega Mendung
Empal
Kurang lebih itulah penjelasan sederhana tentang Cirebon. Selain dapat menikmati wisata budaya dan spiritual, anda pun dapat memanjakan jasmani dengan berwisata ke sentra batik Trusmi sekaligus menyantap makanan khas Cirebon yang begitu menggoda. Sebagai pemuda yang cukup lama tinggal di Cirebon, saya berpendapat bahwa sebuah kota dapat menjadi ikon tujuan wisata jika dikomunikasikan terus-menerus melalui media yang tepat serta dapat menjadi “meaning” bagi penduduknya sendiri. Ironis rasanya jika warga Cirebon sendiri “mati rasa” terhadap potensi kota Cirebon, dan lebih Ironi lagi ketika kita tidak mencoba mengomunikasikan potensi Cirebon melalui media yang tepat. Yang terpenting adalah identitas diri. Persoalan klasik ketika ingin mempromosikan potensi pariwisata di suatu daerah adalah tidak mampunya mengkategorikan identitas dirinya sendiri. Beberapa objek wisata terkenal hanya mengidentifikasi dirinya sebagai destinasi wisata, just it and that’s all. Sehingga pengunjung hanya berkunjung pada momen-momen tertentu saja (biasanya momen liburan). Namun tengoklah Yogyakarta, menurut saya kota ini mampu mendefinisikan dirinya sebagai : kota pelajar, kota budaya, dan kota wisata. Sehingga selalu kota ini ramai dikunjungi oleh para wisatawan domestik maupun mancanegara karena tidak hanya sekedar menawarkan tempat berlibur, namun menawarkan experience (pengalaman) dan melahirkan “meaning of proud” bagi warganya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar